Pages

Thursday, January 10, 2013

Tucuxi Dahlan dan Pamali Mengemudi

Kecelakaan yang menimpa mobil listrik Tucuxi pada Sabtu (5/1) menghiasi halaman pertama di hampir semua media nasional dan lokal. Sebuah kebetulan bahwa Tucuxi mengalami kecelakaan setelah sebelumnya dimandkan air kembang.

antara
Namun, tentu bukan sebuah efek magis kalau sistem pengeremannya ternyata tidak berfungsi normal. Sistem pengereman itu diduga sudah berubah dari setelan awalnya (SOLOPOS, 7/1). Kebenaran tidak berfungsinya sistem pengereman itu dikuatkan oleh peyelidikan awal aparat Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah (Ditlantas Polda) Jawa Timur.

Terlepas dari berita yang mengiringi kecelakaan itu, satu hal yang harus disyukuri adalah tidak adanya korban jiwa. Terutama jika mengingat sebelumnya telah terjadi kecelakaan nyaris beruntun yang menewaskan 11 orang. Kecelakaan itu antara lain di Jalan Tol Jagorawi (1/1), Tegal (3/1), Indramayu (4/1) dan kawasan Palmerah, Jakarta (27 Desember 2012).

Terkait dengan semua fakta dan berita atas peristiwa maut itu, ada pembelajaran tersendiri yang bisa diperoleh. Di dunia kemudi-mengemudi dikenal adanya pemahaman terhadap ritme biologis. Secara sederhana bisa diartikan sebagai siklus perubahan tubuh baik dalam tingkat kandungan kimiawi atau fungsi (Hedge, 2011).

Penyebabnya bisa secara internal maupun eksternal. Penyebab internal berupa perubahan suhu badan karena pengaruh jam biologis. Sedangkan penyebab eksternal bisa pengaruh hari (siang-malam) atau jam (terjaga-terlelap). Pemberi pengaruh secara kongkret bisa berupa sinar matahari, tingkat kebisingan, makanan, maupun interaksi sosial.

Berdasarkan ritme biologis itu ada saat-saat tertentu yang harus dicermati karena berpotensi memunculkan human error. Misalnya malapetaka Three Mile Island, Bhopal dan Chernobyl yang diakibatkan oleh human error yang terjadi di tengah malam.

Demikian juga kebanyakan kecelakaan kendaraan terjadi menjelang fajar. Manusia memang secara alami memiliki tingkat respons indra (mata, pendengaran, penciuman) yang lebih jelek atas night vision dibandingkan hewan-hewan predator. Konsekuensinya–sesuai ritme circadian–manusia ditempatkan sebagai makhluk yang mempunyai jam tidur di malam hari.

Hal ini kiranya bisa sedikit menjelaskan terjadinya kecelakaan ketika mobil yang dikemudikan Rasyid (anak Menko Perekomomian Hatta Rajasa) menabrak mobil lain di Jalan Tol Jagorawi (pukul 05.45 WIB),  kecelakaan minibus di Tegal (pukul 06.00 WIB), dan kecelakaan mobil Toyota Avanza di Indramayu (pukul 05.00 WIB). Ini juga  memberikan gambaran salah satu penyebab kematian dua orang akibat tertabrak mobil Nissan Grand Livina (pukul 00.45 WIB) pada Kamis (27 Desember 2012).

Selain karena ban pecah (kasus di Tegal) beberapa kecelakaan itu diakibatkan karena pengemudi mengantuk atau mabuk. Terkait kecelakaan akibat mengantuk, secara teoritis dalam ritme biologis dikenal dengan pendekatan ToD (time of day) Error. Pada jam-jam tertentu manusia mempunyai daya respons indrawi rendah. Hal ini terjadi juga dalam kasus kecelakaan mobil Daihatsu Xenia di Tugu Tani, Jakarta, yang menewaskan sembilan orang. Bedanya, kejadiannya berlangsung pada pukul 12.25 WIB.

Kecelakaan di Tugu Tani ini, selain karena dipengaruh narkoba, tinjauan berdasar ritme biologis juga menemukan pembenarannya. Ritme biologis ini dikenal sebagai post lunch dip effect atau penurunan kewaspadaan. Siklus ”serangan” hilangnya kewaspadaan ini biasanya terjadi pada pukul 13.00-16.00. Kapan sebaiknya pendekatan ritme biologis ini diimplementasikan untuk mengemudi dengan aman?

Waktu Tertentu

Terdapat waktu-waktu tertentu yang ditetapkan sebagai pamali atau pantangan dalam mengemudi. Secara sangat gamblang nenek moyang kita sudah mewariskan ilmu itu dalam bentuk periodisasi wayah (waktu). Misalnya, saat kejadian tabrakan antara BMW (dengan sopir Rasyid) dan Luxio waktu menunjukkan pukul 05.45 WIB.

kompas.com
Di pembagian waktu seturut primbon Jawa, pukul 05.45 masuk dalam wayah saput lemah (05.00) dan mendekati wayah byar (06.00). Seturut kondisi alamiahnya, waktu yang masuk wayah saput lemah dan byar adalah puncak kelelahan fisik tertinggi. Terlebih ketika pada malam sebelumnya (Rasyid) tidak ada jeda istirahat sama sekali. Selain itu, pada saat wayah saput lemah dan byar posisi matahari sudah menebarkan efek cahaya.

Peralihan dari gelap malam ke permulaan pendaran cahaya surya akan mengaburkan kilau lampu kendaraan. Pandangan pengemudi justru sering kali tidak jelas. Pendekatan ini sangat logis dan sama sekali bukan mistis. Perpaduan antara puncak kelelahan jam biologis dengan fenomena siklus alam menjadi sangat berisiko dalam berkendara sehingga jam-jam itu bagi para pengemudi dianggap sebagai pamali.

Sebuah kebetulan bahwa kecelakaan serupa lainnya juga terjadi dalam jam-jam pamali yang lain. Afriyani yang mengemudikan Daihatsu Xenia mengalami kecelakaan pada pukul 12.25 WIB (wayah tengah awan). Demikian juga dengan Andika yang mengalami kecelakaan dengan Nissan Grand Livina-nya pada pukul 00.45 WIB (wayah tengah wengi/lingsir wengi).

Waktu lain yang dijadikan pamali oleh para pengemudi–sesuai anjuran para leluhur–adalah pukul 15.00 atau wayah lingsir kulon (bandingkan dengan waktu ritme biologis post lunch dip effect), dan pukul 17.30–18.30 (wayah tribalayu, wayah surup/candrakala).

Pelogisan waktu pamali di atas adalah karena bertepatan dengan lunch break (wayah tengah awan), tea break (wayah lingsir kulon) dan dinner (wayah tribalayu, wayah surup/candrakala). Khusus wayah tribalayu dan surup/candrakala fenomenanya persis dengan yang terjadi pada wayah saput lemah dan byar.

Meredupnya cahaya matahari siang akan membuat kilau lampu kendaraan belum cukup jelas menerangi pandangan. Pendaran cahaya lampu kendaraan belum cukup terang untuk dikontraskan dengan malam yang belum sepenuhnya gelap. Ini pun sangat teknis tanpa nuansa mistis.

Secara kebetulan juga, pamali-pamali waktu mengemudi itu bersamaan dengan pembagian waktu untuk melakukan salat. Wayah saput lemah dan byar misalnya bertepatan dengan Salat Subuh. Wayah tengah awan bersamaan dengan waktu untuk Salat Duhur. Demikian juga dengan wayah lingsir kulon yang bertepatan dengan Salat Asar. Selanjutnya wayah tribalayu, surup/candrakala sesuai waktunya dengan waktu untuk melakukan Salat Magrib. Artinya, waktu untuk salat sekaligus merupakan ritme pemulihan tingkat kewaspadan dan stamina.

Pengetahuan tentang pembagian wayah yang dijadikan pamali di dunia ”mengemudi” ini diwariskan secara turun-temurun melalui word of mouth (WoM). Umumnya dari pengemudi senior ke pengemudi junior. Sebuah pengetahuan yang kelihatannya bersifat klenik. Padahal ternyata sangat ilmiah dan didasarkan pada kesesuaian dengan hukum alam. Di saat tubuh butuh istirahat maka saat itulah seyogianya diberikan ”hak” kepadanya. Demikian juga ketika tubuh sudah dalam kondisi fit maka ”tugasnya” untuk bekerja.

Kearifan lokal inilah yang diakui atau tidak terlihat lebih masuk akal daripada penggunaan sejumlah doping. Peggunaan minuman suplemen dan bahkan obat-obatan menjadi sesuatu yang dipaksakan dan mengingkari hukum alam. Alasan-alasan pembenar untuk pemaksaan diri yang mengingkari siklus natural ini sekali dua kali mungkin bisa dilanggar.

Termasuk ketika dengan alasan naif tidak hendak menolak rezeki yang datang pada waktu pamali. Tentu ini pemahaman yang menyesatkan akal sehat. Pengemudi yang profesional tentu akan dengan cerdas mencari waktu istirahat di antara jam-jam sibuknya.

Memilih waktu senggang untuk tidur daripada main kartu jarang terlihat dilakukan oleh para pengemudi di pangkalan. Menghindari begadang lebih daripada taruhan main catur pun demikian juga. Membiasakan tidur lelap dalam waktu singkat daripada tidur model balas dendam belum menjadi tradisi. Pamali-pamali di atas dapat dengan cerdas diartikan sebagai kesiapan yang terukur untuk setiap saat dalam kondisi siap mengemudi.

Sayangnya soft skill ini sepertinya belum dijadikan salah satu materi ujian mendapatkan surat izin mengemudi (SIM). Akan lebih baik jika ini bisa dipadukan juga dengan materi hard skill, misalnya dalam uji parkir paralel dan berhenti di tanjakan. (roda kemudi)

(catatan: Naskah asli mengutip tulisan Pak Flo Kus Sapto W yang dimuat Harian Jogja.com berjudul "GAGASAN: Tucuxi dan Pamali Mengemudi")