Majelis Komisi Penawas Persaingan Usaha (KPPU) memvonis sembilan perusahaan maskapai penerbangan nasional terbukti melakukan kartel terkait penetapan harga fuel surcharge (biaya tambahan penggunaan bahan bakar) dalam industri penerbangan domestik.
Kesembilan perusahaan tersebut adalah PT Garuda Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati), PT Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation Service (Express Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Metro Batavia (Batavia Air), dan PT Kartika Airlines (Kartika Air).
Dalam sidang yang digelar di Kantor KPPU, Selasa (4/5), Majelis Komisi yang diketuai Ana Maria Tri Anggraini, menilai seluruh maskapai dinilai terbukti sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 5 dan Pasal 21 Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Pesaingan Usaha Tidak Sehat. Majelis menjelaskan, penetapan putusan tersebut didasari pada hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa.
Disebutkan, pada 4 Mei 20006, kesembilan maskapai membuat perjanjian tertulis terkait penetapan fuel surcharge yang ditandatangani perwakilan maskapai serta ketua dewan dan sekretaris jenderal asosiasi perusahaan penerbangan nasional INACA (Indonesia National Air Carriers Association). Seluruh pihak menyepakati bahwa terhitung sejak 10 Mei 2006 memberlakukan pengenaan fuel surcharge dengan besaran Rp 20.000 per penumpang. Perjanjian tersebut kemudian secara formal dibatalkan pada 30 Mei 20006, yang pada intinya menyimpulkan penerapan dan besaran fuel surcharge diserahkan kembali kepada masing-masing perusahaan penerbangan nasional anggota INACA
”Namun, meskipun pembatalan telah dilakukan, perjanjian tersebut tetap dilaksanakan oleh masing-masing maskapai penerbangan, yang menetapkan fuel surcharge secara terkoordinasi (concerted actions) dalam zona penerbangan 0 s/d 1 jam, 1 s/d 2 jam, dan 2 s/d 3 jam,” jelas Ketua Majelis.
Majelis Komisi menilai, fuel surcharge yang diberlakukan kesembilan maskapai tersebut merupakan aksi yang berlebihan (eksesif). Terhitung sejak kurun 2006 hingga 2009, KPPU menghitung, seluruh maskapai yang berstatus terlapor pada sidang tersebut telah menimbulkan kerugian bagi konsumen antara Rp 5 triliun hingga 13,8 triliun.
”Dalam menetapkan biaya produksi, para terlapor sudah mempertimbangkan pergerakan harga avtur, sehingga tidak dapat dibuktikan terjadi kecurangan. Mengenai penetapan biaya secara curang dalam perkara ini menjadi tidak relevan,” ungkap Majelis.
Memperhitungkan kerugian yang dialami konsumen penerbangan ketika membayar fuel surcharge sebagai akibat adanya penetapan harga yang dilakukan kesembilan maskapai tersebut, serta berdasarkan alat bukti, fakta dan kesimpulan, majelis memvonis mereka untuk membayar denda dan ganti rugi dengan besaran yang berbeda. Seluruh denda dan ganti rugi tersebut wajib disetor para terlapor ke dalam APBN untuk digunakan dalam upaya peningkatan fasilitas bandara dan pelayanan umum kepada masyarakat. Selain itu, majelis juga merekomendasikan Pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Perhubungan agar tidak memberikan kewenangan kepada asosiasi atau perhimpunan pelaku usaha untuk menetapkan harga atau tarif pada industri penerbangan nasional.
Majelis KPPU memvonis Garuda Indonesia divonis membayar denda sebesar Rp 25 miliar dan ganti rugi Rp 162 miliar; Sriwijaya Air didenda sebesar Rp 9 miliar dan ganti rugi Rp 60 miliar; Merpati didenda Rp 8 miliar dan ganti rugi Rp 53 miliar; Mandala sebesar Rp 5 miliar dan Rp 31 miliar; Express Air sebesar Rp 1 miliar dan Rp 1,9 miliar; Lion Air sebesar Rp 17 miliar dan Rp 107 miliar; Wings Air sebesar Rp 5 miliar dan Rp 32,5 miliar; Batavia Air sebesar Rp 9 miliar dan Rp 56 miliar; dan Kartika Air sebesar Rp 1 miliar dan Rp 1,6 miliar. (roda kemudi)
MENGGALI PENDAPATAN TAMBAHAN UNTUK PEMBANGUNAN MRT
11 years ago
No comments:
Post a Comment