Sumber pendanaan alternatif sangat dibutuhkan untuk memicu pengembangan infrastruktur transportasi di Indonesia yang berjalan relatif sangat lambat. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya pelambatan pelayanan yang dapat memunculkan kerugian ekonomi.
Perkembangan infrastruktur yang terlambat, bahkan banyak di antaranya yang sudah overloaded, salah satunya disebabkan oleh porsi sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan infrastruktur masih relatif sangat kecil.
Sebuah data menyebutkan, kondisi infrastruktur transportasi di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Untuk sektor jalan, panjang jaringan jalan rata-rata hanya 217 km per 1000 km2. Padahal, jalan merupakan infrastruktur transportasi utama Indonesia yang harus melayani lebih dari 84 persen total penumpang.
Bahkan untuk pengangkutan barang, jalan melayani porsi sekitar 91,25 persen dari total muatan. Sementara kebutuhan dana infrastruktur yang dapat dipenuhi APBN hanya sebesar 17 persen, dan sumber dana domestik yang diperoleh dari perbankan sebesar 21 persen. Sedangkan sisanya, sebesar 62 persen, perlu diisi dari swasta.
”Keterlibatan swasta tidak berarti masuk ke pasar bebas. Tetapi tetap memerlukan pengaturan dari sisi pemerintahnya karena transportasi merupakan public goods,” papar Staf Ahli Menhub Bidang Ekonomi dan Kemitraan Iskandar Abubakar, di Jakarta, akhir pekan lalu.
Peran swasta, lanjut dia, sangat diharapkan padahal langkah untuk swastanisasi masih terkendala dengan berbagai masalah. Di antaranya yang penting adalah risk sharing yang meliputi tanah, tarif, biaya konstruksi, waktu konstruksi, demand, suku bunga, nilai tukar uang, dan lain-lain.
Menurut Iskandar, belum banyak proyek infrastruktur yang berhasil diterapkan dalam bentuk knowledge management system (KMS) atau pengelolaan yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman. Sebagian besar yang bisa dikatakan berhasil baru beberapa proyek seperti pembangkit listrik serta beberapa jalan tol, yang mana penerapannya dilakukan pada era pemerintahan Presiden Soeharto.
Menurut Iskandar, konsep ”users pays” perlu dikembangkan lebih jauh, sebagaimana diterapkan pada jalan Tol di Indonesia, ataupun di Ambang Sungai Barito Kalimantan Selatan.
”Pengelolaan arus lalu lintas kapal-kapal barang di Sungai Barito oleh PT Ambapers (perusahaan konsorsium PT Bangun Benua, PT Pelindo III dan PT Sarana Daya Mandiri, Red) adalah salah satu contoh yang baik,” ujarnya.
Melalui proyek kerja sama operasi yang ditujukan untuk meningkatkan kelancaran arus kapal di Sungai Barito dengan melakukan pengerukan terhadap alur pelayaran dengan kedalaman 6 meter LWS dan lebar 100 meter tersebut, setiap kapal yang mengangkut muatan barang tambang dan hasil hutan wajib membayar ”channel fee” sebesar USD 0,3/ton.
”Sedangkan kapal-kapal lainnya tidak dipungut bayaran. Dana yang diperoleh dari penarikan itu digunakan untuk perawatan alur pelayaran. Di alur ini, angkutan tambang batubara dan hasil hutan tersebut adalah yang terbesar,” jelasnya.
Selain user pays, sambung Iskandar, konsep lain yang dapat dikembangkan adalah konsep ”road fund”. Konsep tersebut juga masih bisa diperluas lagi menjadi ”transport fund”.
Menurut Iskandar, sumber transport fund yang lazim digunakan bisa diperoleh dari berbagai sumber. Antara lain melalui pajak bahan bakar. Pendaanaan pajak bahan bakar sebagai sumber pendapatan ini banyak digunakan berbagai negara. ”Karena semakin banyak berjalan, maka semakin banyak bahan bakar yang dipakai. Itu artinya semakin besar sumbangan terhadap dana transportasi yang bisa didapat,” paparnya.
Sumber lainnya adalah road pricing, yaitu suatu pungutan kepada masyarakat yang akan memasuki suatu kawasan (biasanya di pusat kota) dengan tujuan untuk mengurangi beban lalu lintas di kawasan yang dikendalikan itu. Beberapa kota di dunia seperti Singapura, London, Stockholm dan beberapa kota lainnya, telah menerapkan pola ini.
Selain itu adalah pajak kendaraan bermotor. Jenis pajak ini menjadi primadona pajak daerah di Indonesia. Karena meskipun pendapatan tersebut diperoleh dari sektor transportasi itu, namun pajak yang ditarik itu masuk ke dalam kas daerah.
”Retribusi parkir juga merupakan salah satu pola yang digunakan untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang menuju atau masuk ke suatu kawasan,” sambung Iskandar.
Bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta
Bentuk usaha dalam infrastruktur transportasi jalan bisa dilakukan dengan beragam model dengan pelaku penyedia pelayanan. Mulai dari BUMN, swasta murni, outsourcing sampai dengan kemitraan pemerintah dan swasta (Public-Private Partnerships/PPP).
Dipaparkan Iskandar, untuk bentuk usaha yang bersifat komersialisasi/korporatisasi seperti bandara milik pemerintah atau perusahaan kereta api dengan penyedia pelayanan BUMN, menurut Iskandar, kerja sama antara pemerintah dengan swasta tidak bisa dilakukan.
Bentuk usaha lain yang tidak bisa dikerjasamakan antara pemerintah dengan swasta bentuk usaha privatisasi seperti pelabuhan atau bandara khusus. ”Di sini, swasta bisa berperan sebagai penyedia pelayanan, tetapi mereka tetap terikat dengan peraturan dan perundangan,” jelasnya.
Selanjutnya, pada jenis usaha outsourching seperti perawatan jalan dalam jangka panjang di mana perusahaan swasta juga bertindak sebagai penyedia pelayanan, posisi pemerintah adalah sebagai pemberi pekerjaan dan swasta sebagai kontraktor.
Bentuk kerja sama dengan aturan pemerintah sebagai pemerintah dan swasta sebagai kontraktor atau membentuk joint venture antara pemerintah dengan swasta, katanya, bisa dilakukan untuk jenis usaha KMS/PPP seperti perencanaan, konstruksi, dan pengoperasian jalan tol baru.
Proses penerapan KMS, papar Iskandar, diawali dengan perencanaan makro proyek infrastruktur yang harus dibangun, kemudian dipilah menjadi proyek yang wajib dibangun oleh pemerintah dan proyek-proyek yang bisa dikerjasamakan dengan swasta baik secara penuh ataupun sebagian.
”Selanjutnya dilanjutkan dengan perumusan kelayakan KMS. Setelah itu dilakukan proses pengadaan yang kompetitif dan transparan, dilanjutkan dengan pembangunan. Kemudian, baru dilakukan itu penyerahan dari proyek infrastruktur untuk dipakai,” jelasnya.
Iskandar menambahkan, proyek KMS bisa dikelompokkan dalam beerapa jenis. Antara lain proyek yang secara finansial dan ekonomis layak. Ini merupakan projek yang sangat ideal untuk keterlibatan mitra swasta dalam investasi operasi operasi dari proyek infrastruktur. ”Tetapi projek seperti ini masih menghadapi beberapa risiko konstruksi dan operasi pada saat proyek ini dibangun,” katanya.
Jenis kedua adalah jenis proyek yang secara finansial tidak layak tapi layak dari sisi ekonomis. Proyek-proyek seperti ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain dengan memasukkan sunk cost (pengeluaran yang tidak dapat ditarik lagi, Red) untuk membiayai sebagian atau keseluruhan infrastruktur.
”Ketiga, proyek yang secara ekonomi dan finansial tidak layak tetapi dibutuhkan. Ini membutuhkan sunk cost berupa investasi infrastruktur disertai subsidi sebagian biaya operasinya,” kata Iskandar.
Proyek KMS, lanjut dia, relatif memiliki banyak risiko ketika dijalankan. Mulai dari pasar yang dihadapi, besarnya permintaan yang sering melenceng dari rencana yang pernah dibuat, pengoperasian infrastruktur, biaya konstruksi yang membengkak, peraturan perundangan yang berlaku, hingga kekurangtelitian dalam pencantuman hak dan kewajiban mitra swasta dengan pemberi pekerjaan.
Risiko tersebut selanjutnya perlu didistribusikan antara pemberi kerja, dalam hal ini pemerintah dengan mitra swastanya. ”Semakin besar risiko yang akan ditanggung pemerintah, akan meningkatkan kelayakan KMS dari sektor swastanya dan pada gilirannya memperkecil biaya investasi,” kata Iskandar.
Sebaliknya, lanjut dia, jika semua risiko dibebankan kepada mitra swasta, maka akan semakin rendah keinginan swastanya untuk bermitra dengan pemerintah. Di sisi lain, kondisi tersebut akan mengakibatkan proyek menjadi lebih mahal. ”Pada gilirannya, ini akan mengakibatkan beban masyarakat yang akan menggunakan infrastruktur tersebut menjadi lebih mahal,” pungkasnya. (roda kemudi)
MENGGALI PENDAPATAN TAMBAHAN UNTUK PEMBANGUNAN MRT
11 years ago
No comments:
Post a Comment