Kecelakaan pesawat Pilatus PC-6/B2-H4 Turbo Porter milik maskapai Mimika Air di lereng Gunung Gergaji, kawasan pegunungan Jaya Wijaya, Papua, Jumat (17/4), diduga kuat terjadi akibat pengaruh cuaca buruk.
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal menjelaskan, pada saat itu pesawat beregistrasi PK-LTJ itu terbang pada ketinggian 11800 kaki (3596.64 meter) di atas permukaan laut. Kabut tebal yang tiba-tiba turun menutupi wilayah itu membuat pandangan pilot menjadi terbatas.
Pilot Capt. Nay Linnn Aung yang berkebangsaan Myanmar itu diduga tidak bisa melihat lingkungan wilayah yang diterbanginya. Hingga akhirnya pesawat pun menabrak lereng gunung dalam penerbangan dari Ilaga menuju Mulia tersebut.
”Kemungkinan pilot juga kurang mengenal medan dan tidak menemukan indikasi cuaca buruk itu. Keyakinannya untuk terus terbang kemungkinan didasari pada kondisi pesawat yang bagus dan jarak tempuh yang dekat, hanya 15 menit,” papar Menhub Jusman dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Sabtu (18/4).
Pada jumpa pers tersebut, Menhub didampingi Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti S Gumay, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi Tatang Kurniadi, dan Deputi Badan SAR Nasional Waluyo Jati.
Pesawat yang membawa 8 penumpang termasuk seorang bayi dan dua kru itu, take off pukul 09.30 WIT dan direncanakan tiba di Mulia pada 09.45 WIT. Komunikasi antara awak pesawat nahas tersebut dengan bandara terputus setelah beberapa menit lepas landas, ketika melintasi lereng Gunung Gergaji yang berketinggian 13700 kaki (4175.76 meter) di atas permukaan laut.
Sinyal darurat pesawat Mimika Air yang hilang itu ditemukan oleh pesawat maskapai penerbangan Mission Aviation Fellowship (MAF) dan Merpati Nusantara Airline yang melintas wilayah itu, pada koordinat 030 52’’ South dan 1370 44’’ East (South East).
Evakuasi Korban Masih Sulit
Tim SAR yang mencari bangkai pesawat Mimika Air berhasil mengetahui titik jatuhnya pesawat jenis Pilatus PK-LTJ itu pada Sabtu pagi waktu setempat. Yaitu diperkirakan berada 17 NM sebelum Distrik Mulia.
Namun hingga kini, tim penyelamat yang menggunakan sebuah helikopter milik Airfast, sebuah Twin Otter Trigana serta sebuah pesawat MAF Cessna 2008, belum bisa mendekati lokasi untuk mengevakuasi korban karena buruknya cuaca dan sulitnya medan.
Tim pencari dan evakuasi udara tersebut hanya bisa melihat bangkai pesawat yang hancur di posisi lereng gunung. ”Dari posisi wing ke ekor, kelihatanya masih utuh,” jelas Menhub.
Menhub melanjutkan, Tim SAR yang terdiri dari berbagai elemen tersebut akan memusatkan pada pertolongan terhadap seluruh korban yang belum diketahui nasibnya itu.
Selain tim SAR, upaya pencarian dan penyelamatan juga dilakukan melalui jalur darat oleh pasukan TNI dan Polri yang dibantu masyarakat setempat. "Seluruh operasi SAR kini bermarkas di Ilaga dan diketuai Komandan Pangkalan Udara Timika Letkol Penerbang Easter Haryanto," sambung Eko Jati menambahkan.
Para korban yang belum ditemukan itu antara lain Capt. Nay Linnn Aung (pilot), Capt. Makmur Susilo (kopilot), Herman Snanfi (Ketua Panwas Puncak Jaya), Marthen Jitmau, Pdt. Melkias Kiwak, Wilem Mayau, Lasarus Wonda, Ruben Murib, Termina Murib, dan seorang balita anak pasangan Ruben dan Termina Murib.
Usia Pesawat Masih Sangat Muda
Menhub Jusman Syafii Djamal menjelaskan, usia pesawat rakitan Pilatus Aircraft Ltd. (Switzerland) yang digunakan Mimika Air terbilang sangat muda. Pesawat yang dibeli Pemda Mimika seharga Rp 25 miliar tersebut dirakit perusahaan pembuatnya pada Februari 2008, atau baru berusia sekitar 1 tahun.
Untuk melintasi kawasan pegunungan, pesawat bermesin PT6A-27 rakitan Pratt & Whitney, Kanada, yang bertenaga 550 SHP itu, bukanlah sebuah masalah. Pesawat yang dilengkapi tiga bilah baling-baling Hartzell tersebut mampu mengudara hingga ketinggian 25 ribu kaki (7620 meter).
Pilatus PC-6 Turbo Porter yang berkemampuan mendarat di landasan-landasan pendek dengan bobot pendaratan maksimum (Maximum Landing Weight) 2660 kilogram ini.
”Pesawat ini memang sangat cocok untuk wilayah Papua,” kata Menhub.
Menhub menambahkan, pesawat itu diregistrasi pertama kali di Indonesia dalam kondisi baru pada 18 September 2008 atas nama Mimika Air, dengan nomor pendaftaran 2512 dan registrasi PK-LTJ. Masa berlaku sertifikat pesawat (C of R) dan sertifikat kelaikan udara (C of A) berlaku hingga 17 September 2009.
Jam terbang pesawat pada saat kejadian, lanjut Menhub baru 542 jam. Pesawat dirawat sesuai dengan program perawatan pada setiap 100 jam terbang. Dengan demikian, selama dioperasikan pesawat sudah lima kali diperiksa, dan terakhir pada 5 April 2009. Tidak adanya keluhan atau temuan selama pemeriksaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesawat tersebut dalam kondisi yang sangat baik untuk dioperasikan.
Kemudian terkait tidak adanya nama Mimika Air dalam daftar pemeringkatan kinerja maskapai periode Maret 2009 yang dilakukan Ditjen Perhubungan Udara, menurut Menhub, itu karena masa kerja Mimika Air yang belum genap enam bulan.
”Karena masa kinerjanya masih baru, dia belum saatnya masuk. Nanti setelah enam bulan, kita pasti akan masukkan dalam pemeringkatan dan akan kita audit seperti yang lain. Tetapi, meski begitu, bukan berarti tidak diawasi. Biar baru, pengawasan tetap dilakukan,” jelasnya.
Untuk awak pesawat, Dirjen Perhubungan Udara Herry Bhakti, juga tidak ditemukan adanya masalah terkait prosedural. Capt. Nay Linnn Aung yang berkebangsaan Myanmar tersebut memiliki jam terbang yang cukup lama, yaitu 2794 jam terbang. Demikian pula halnya kopilot Capt. Makmur Susilo, asal Indonesia, memiliki jam terbang sebanyak 2720 jam.
Lisensi pilot (Commercial Pilot Licence/CPL) yang dimiliki keduanya juga masih berlaku. Masa berlaku CPL Capt. Nay Linnn Aung berakhir hingga 11 Juni 2009, dan Capt. Makmur Susilo hingga 4 Agustus 2009. ”Dari sisi kesehatan juga tidak ada masalah. Masa kedaluwarsa medical check up keduanya sama dengan masa kedaluwarsa CPL,” ujar Herry Bhakti.
Berdasar pada fakta tersebut, Ketua KNKT Tatang Kurniadi mengatakan, diindikasikan bahwa tragedi jatuhnya pesawat Mimika Air itu lebih karena faktor cuaca.
”Kalau pesawat bagus, juga pilotnya ada dan tidak bermasalah, faktor penyebab yang paling menonjol adalah cuaca. Pilot tidak dapat melihat terrain (permukaan bukit) sehingga mengalami kecelakaan. Ini dinamakan Control Flight Into Terrain (CFIT),” ujar Tatang.
Menurut Tatang, sebenarnya kasus CFIT ini jarang terjadi di Indonesia. Peristiwa serupa terakhir terjadi saat pesawat Garuda celaka di Sibolangit pada tahun 1990-an. ”Tetapi kita tidak boleh menyimpulkan dulu bahwa ini adalah CFIT, kita tunggu 1 bulan setelah penyelidikan," pungkasnya. (roda kemudi)
MENGGALI PENDAPATAN TAMBAHAN UNTUK PEMBANGUNAN MRT
11 years ago
No comments:
Post a Comment