Pages

Monday, August 9, 2010

Impor Pesawat Latih Bisa Bebas Bea Masuk Secara Penuh

Importasi pesawat latih untuk keperluan pendidikan bagi sekolah-sekolah penerbangan di  Indonesia dapat terbebas dari bea masuk secara penuh. Syaratnya, pihak pengelola sekolah harus mengajukan telebih dahulu rekomendasi dari Kementerian Perhubungan serta Kementerian Pendidikan Nasional untuk mendapatkan persetujuan Kementerian Keuangan.

Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Perhubungan Dedi Darmawan mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Senin (9/8). Menurutnya, penjelasan terkait kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan melalui Direktorat Fasilitas Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai, melalui surat bernomor S-936/BC.3/2010 yang diterimanya pada 22 Juli 2010 lalu. Surat itu merupakan jawaban atas surat permohonan yang disampaikan Badan Diklat kepada Kementeku, agar bea masuk dan pajak dalam rangka pengadaan pesawat latih untuk kepentingan pendidikan di sekolah-sekolah yang berada di bawah di Badan Diklat dihapuskan.  "Sekarang, dengan kebijaksanaan bea cukai, dua helikopter tersebut sudah diinstal, dan sudah melakukan ground test pada 30 Juli lalu. Dalam waktu dekat, helikopter itu akan dilakukan uji terbang," pungkasnya.

Dijelaskan, proses permohonan penghapusan bea masuk terhadap pengadaan pesawat-pesawat latih tersebut telah diajukan Badan Diklat sejak Januari 2010, menyusul ditahannya dua helikopter latih yang diimpor STPI Curug tidak diperkenankan dioperasikan Ditjen Bea dan Cukai karena belum menyelesaikan kewajiban pajaknya. Kepada Menteri Keuangan, kata dia, Badan Diklat meminta penjelasan terkait dengan prosedur untuk mendapatkan pembebasan bea masuk yang terdiri dari tiga komponen pajak itu. Yaitu Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) sebesar 50 persen, Pajak Penghasilan (PPh) 2,5 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10 persen.

Selain itu, pihaknya juga meminta agar seluruh lembaga pendidikan dan pelatihan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan (terdiri dari 19 Unit Pelaksana Teknis) dapat dimasukkan dalam daftar perguruan tinggi yang dapat diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ”Sudah dijawab, penghapusan bea masuk ini ada syaratnya, yaitu pihak sekolah yang melakukan importasi pesawat latih harus meminta rekomendasi dari Mendiknas dan Menhub, untuk disetujui Menkeu. Kalau tidak ada rekomendasi, maka kebijakan pembebasan bea masuk ini tidak serta-merta berlaku,” jelasnya.

Badan Diklat, imbuh Dedi, saat ini tengah memproses surat rekomendasi kepada Menteri Perhubungan Freddy Numberi dan Mendiknas M. Nuh, untuk seterusnya diajukan kepada Menkeu Agus Martowardoyo, terkait upaya pengadaan pesawat latih di Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug. Hal itu menyusul diterimanya surat jawaban dari Direktorat Fasilitas Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan tertanggal 22 Juli 2010.

Dedi Darmawan memaparkan, dalam surat Direktorat Fasilitas Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai yang diterimanya itu dikatakan, Kemenkeu bisa memberikan fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang yang diimpor oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemerintah Pusat atau Daerah, sepanjang impor tersebut berguna untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Badan Diklat Perhubungan, seperti ditegaskan di dalamnya, dapat ditetapkan sebagai perguruan tinggi/ badan/ lembaga yang dapat diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 143/KMK.05/1997 juncto Perubahan terakhir Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.05/2007.

Biaya Sekolah Bisa Lebih Murah


Dengan keputusan tersebut, Dedi menambahkan, pihaknya akan memanfaatkan fasilitas pembebasan pajak untuk pesawat latih yang diimpornya. Terkait itu, dirinya mendorong sekolah-sekolah penerbangan swasta agar mendapatkan prioritas yang sama dengan sekolah milik pemerintah. Karena jika melihat penjelasan yang ada dalam surat tersebut, menurutnya, aturan ini tidak hanya berlaku bagi sekolah milik Pemerintah seperti STPI, tetapi juga untuk sekolah-sekolah swasta dengan catatan selama aturannya soal rekomendasi itu diikuti.

"Dengan pembebasan ini, sekolah-sekolah swasta yang paling mendapatkan dampak langsung. Karena dengan adanya pembebasan ini, pengurangan biaya pendidikan pun bisa dilakukan, karena mereka tidak perlu lagi memasukkan biaya pengadaan pesawat dalam komponen biaya pendidikan yang  ditariknya dari siswa. Sisi positifnya, biaya untuk mencetak pilot tidak mahal, sehingga minat masyarakat untuk bersekolah menjadi penerbang akan bertambah," jelasnya.

Sementara bagi sekolah penerbangan yang dikelola Pemerintah, keuntungan akan dirasakan pihak ketiga yang memfasilitasi proses importasi pesawat dengan tidak perlu repot menyediakan anggaran khusus untuk membayar pajak tersebut, mengingat sebelumnya, dalam kontrak tender dengan pihak ketiga, anggaran terkait pajak ini tidak disertakan. ”Setahu saya, yang sudah mengajukan permohonan rekomendasi ke Ditjen Perhubungan Udara baru Universitas Nurtanio Bandung untuk pembebasan bea masuk mesin pesawat untuk keperluan pelatihan di sana,” jelasnya.

Dedi menambahkan, pengenaan pajak terhadap pesawat latih ikut mendorong tingginya biaya pendidikan pilot di Indonesia sehingga menciutkan minat calon siswa untuk mengikuti sekolah penerbangan. Akibatnya, sekolah penerbangan juga membatasi jumlah lulusan yang diwisudanya setiap tahun karena sepi peminat. Dengan adanya peluang penghapusan ini, Dedi menegaskan, biaya pendidikan pilot bisa berkurang antara 30- 40 persen.

”Saat ini biaya pendidikan penerbang di Indonesia selama 12 bulan sampai 18 bulan berkisar antara Rp 500 juta sampai Rp 600 juta. Bahkan, ada yang sampai Rp 1 miliar,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini jumlah sekolah pilot yang ada hanya mencapai 10 sekolah. Jumlah tersebut sangat tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan pilot nasional yang mencapai sedikitnya 400 orang lulusan per tahun. STPI Curug yang merupakan sekolah paling besar saat ini, paling banyak hanya bisa memproduksi sebanyak 160 penerbang setiap tahun. Sedangkan sisanya sebisa mungkin disediakan sekolah swasta. (roda kemudi)

1 comment:

Pajak said...

baca dulu yah,
cz rada binggung juga nih