Pages

Monday, March 29, 2010

Kebijakan Maskapai Patungan Harus Dikendalikan Pemodal Dalam Negeri

Seluruh maskapai nasional yang menerapkan sistem manajemen permodalan gabungan perusahaan dalam negeri dan asing, diminta untuk menerapkan kebijakan mayoritas tunggal (single majority) atas saham dalam negerinya. Hal tersebut untuk memastikan seluruh keputusan bisnis perusahaan dikendalikan oleh pemegang saham dalam negeri.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Herry Bakti Singayuda Gumay. Menurutnya, ketentuan single majority merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, terutama Pasal 108 ayat (3) yang berbunyi:

”Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagi-bagi, salah satu pemegang modal nasional harus tetap lebih besar dari pemegang modal asing (
single majority)”

"UU memberikan batas waktu 3 tahun bagi maskapai menerapkan single majority, dan itu berlaku surut," kata Herry di Jakarta.

Sesuai Pasal tersebut, badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya (51 persen) harus dimiliki oleh badan hukum atau warga negara Indonesia. Namun jika kepemilikan Indonesia terbagi atas beberapa pemilik modal, maka salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing.

Jika ketentuan itu tidak diterapkan, Pasal 113 ayat (3) memberikan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha penerbangan maskapai yang bersangkutan. ”Ada beberapa maskapai yang belum menerapkan. AirAsia saya harus cek dulu untuk memastikan bagaimana komposisi kepemilikan modal nasionalnya," ungkap Herry.

Terpisah, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanudin mendukung upaya pemerintah memperketat pengawasan komposisi kepemilikan modal maskapai yang beroperasi di Indonesia. Tengku mengatakan, penerapan single majority rawan tidak diterapkan pada perusahaan bermodal gabungan dalam negeri dan asing.

”Harus hati-hati, karena pada umumnya di atas kertas sahamnya memang 51 persen Indonesia dan 49 persen asing. Tetapi yang berkuasa dalam menentukan kebijakan perusahaan justru yang minoritas," ujar Tengku.

Senada dengan Tengku, pakar Hukum Transportasi Udara Kemis Martono juga menginginkan pemerintah memastikan pemilik modal Indonesia harus tetap lebih besar dari keseluruhan modal milik asing. Karena yang terjadi saat ini modal yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia pada kenyataannya terpecah-pecah, tidak bulat 51 persen. ”Ini bisa mengganggu manajemen perusahaan bersangkutan,” katanya. (roda kemudi)

No comments: